Intinews | Masa pandemi covid-19 yang melanda dunia sejak tahun 2019 , telah menimbulkan begitu banyak perubahan disemua lini terutama di bidang ekonomi. Dampak yang paling dominan yaitu runtuhnya perputaran roda ekonomi dunia tak terkecuali Indonesia. Kebijakan lockdown telah mematikan perekonomian masyarakat.
Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto mengungkapkan pengendalian inflasi di Indonesia yang cukup baik menjadi salah satu langkah penting bagi penguatan ekonomi nasional. Selain itu, pengendalian inflasi juga mengantisipasi dampak krisis yang dapat mempengaruhi keberlanjutan pemulihan ekonomi. Indonesia menjadi urutan ke 5 terendah dalam menekan inflasi sebesar 5,9 persen.
“Saat ini inflasi berada di level 5,9 persen. Dalam upaya pengendalian inflasi, pemerintah telah melaksanakan sejumlah langkah seperti mendorong kolaborasi antara Tim Pengendalian Inflasi Pusat (TPIP) dan Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) melalui Gerakan Nasional Pengendalian Inflasi Pangan (GNPIP),” tutur Airlangga dalam keterangan resmi di Jakarta, Selasa (18/10/) lalu.
Airlangga menjelaskan dalam menjaga inflasi, pemerintah juga mengoptimalkan Dana Alokasi Khusus (DAK) Fisik untuk tematik ketahanan pangan. Selain itu pemanfaatan dua persen dari Dana Transfer Umum (DTU) untuk membantu sektor transportasi dan tambahan perlindungan sosial.
“Di tengah kenaikan harga energi di tingkat global, pemerintah juga terus melakukan berbagai berupaya agar harga di dalam negeri tetap stabil dan terjangkau. Sehingga daya beli masyarakat tetap terjaga,” jelasnya.
Pemerintah telah mengeluarkan berbagai bantuan seperti Bantuan Langsung Tunai (BLT) Rp 12,4 triliun dan bantuan subsidi upah Rp 9,6 triliun untuk 16 juta pekerja. Menko Perekonomian berharap bantuan ini menjadi bantalan bagi pertumbuhan ekonomi sampai akhir 2022 agar masih berada di sekitar 5,2 persen dan tahun depan di atas 5 persen.
Terkait ancaman krisis pangan, Airlangga menekankan pemerintah juga telah memprioritaskan ketahanan pangan dengan menjaga ketersediaan pasokan dan keterjangkauan harga-harga pangan.
“Indonesia cukup beruntung karena produksi beras dalam tiga tahun terakhir sebesar 31 juta sehingga kita memiliki daya tahan yang cukup. Dalam tiga tahun terakhir kita juga tidak melakukan impor beras serta relatif tidak mengimpor jagung dan bahkan kita mengalami surplus jagung,” ujar Ketua Umum DPP Partai Golkar ini.