Intinews | Kepala BPOM Taruna Ikrar menyampaikan pentingnya pengawasan menyeluruh terhadap seluruh siklus hidup produk farmasi, khususnya produk biologi. Poin tersebut disampaikan melalui sambutannya pada Collaborative International Seminar and Workshop BRIN-ASPI 2025 yang diselenggarakan di Gedung B.J. Habibie Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Rabu (6/8/2025).
Seminar dan lokakarya ini merupakan upaya kolaboratif BRIN bersama Asosiasi Sel Punca Indonesia (ASPI) yang diselenggarakan selama 2 hari pada 5–6 Agustus 2025. Kegiatan ini menjadi panggung bagi para ilmuwan, praktisi, dan pemangku kepentingan untuk merumuskan arah baru pengembangan terapi sel punca dalam sistem kesehatan nasional dan industri global. Seminar kali ini mengusung tema “Future Directions and Opportunities in Stem Cell Innovation for Clinical Application and the Health Industry: Keeping Up with Emerging Trends, Future Research Direction, and Further Potentials”.
Dalam pidatonya, Taruna Ikrar menyoroti tantangan yang dihadapi Indonesia dalam menangani produk-produk ilegal maupun bermasalah, baik dari segi hukum maupun aspek misi kelembagaan. Ia menegaskan bahwa lembaga seperti BPOM harus mampu bertindak cepat terhadap pelanggaran yang terjadi di lapangan.
“Kita harus mengawasi seluruh siklus hidup produk farmasi, mulai dari produksi hingga distribusi, termasuk mekanisme pemantauan yang ketat,” ujarnya.
Ia juga menekankan pentingnya integritas dan transparansi dari otoritas Indonesia dalam menangani isu-isu kesehatan publik.
Taruna kemudian menyoroti tren global terkait produk biologi, yang mencakup biosimilar, antibiotik, hingga vaksin. Menurutnya, pasar global produk biologi saat ini memiliki nilai sekitar 300 miliar dolar AS per tahun dan menyumbang bagian terbesar dari total pasar produk medis global yang mencapai sekitar 400 miliar dolar AS. Sementara itu, produk kimia menyumbang sekitar 100 miliar dolar AS.
Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa produk terapi lanjutan seperti advanced therapy medicinal products (ATMP) kini mengambil porsi signifikan dari pasar produk biologi, yaitu sekitar 39%. Meski begitu, pasar ATMP di kawasan Asia Pasifik (Asia Pacific Medical Group/APMG) masih tergolong kecil, dengan nilai hanya sekitar 9,37 miliar dolar AS pada tahun 2022 atau sekitar 12,8% dari total pasar APMG.
“Kita harus melihat ini sebagai peluang besar untuk pengembangan dan desain produk-produk baru berbasis biologi. Pasar masih terbuka lebar,” jelas Taruna.
BPOM telah melaksanakan berbagai inisiatif percepatan. Taruna Ikrar menjelaskan bahwa langkah-langkah tersebut meliputi percepatan registrasi dan sertifikasi cara pembuatan obat yang baik (CPOB), penyusunan pedoman sebagai acuan bagi peneliti dan pelaku usaha untuk memenuhi standar fasilitas yang dipersyaratkan, serta penyederhanaan prosedur. Selain itu, BPOM juga meningkatkan kompetensi melalui pelatihan, bimbingan teknis, dan lokakarya, termasuk pelatihan CPOB dan penyusunan dokumen registrasi. Konsultasi daring juga dilakukan untuk membahas rencana pengembangan, tata letak fasilitas, tinjauan awal CPOB, corrective action-preventive action (CAPA), dan dokumen mutu.
Selain BPOM, BRIN juga telah menunjukkan berbagai inisiatif untuk mendukung pengembangan produk biologi, khususnya sel punca.
“Transformasi dari laboratorium ke layanan kesehatan memerlukan infrastruktur riset yang kuat dan kepemimpinan kolaboratif antarlembaga,” ujar Kepala Organisasi Riset Kesehatan BRIN NLP Indi Dharmayanti.
Ia mengharapkan BRIN, bersama dengan ASPI, mengajak seluruh pihak untuk bergandeng tangan menciptakan ekosistem inovasi kesehatan berbasis ilmu pengetahuan, kolaborasi, dan keberlanjutan.
Sementara itu, Ketua ASPI Rahyussalim menyoroti pentingnya sinergi antara BRIN dan ASPI dalam mempercepat translasi riset menjadi terapi yang dapat diakses masyarakat luas.
“Melalui forum ini, kita tidak hanya mengejar kemajuan teknologi, tetapi juga membangun model implementasi terapi regeneratif yang kontekstual dengan tantangan lokal dan global,” jelas Rahyussalim. (**)