Intinews | Mengapa saat saturasi oksigen turun menjadi momok menakutkan bagi pasien Covid-19 atau keluarga pasien. Inilah yang menyebabkan kebutuhan oksigen meningkat bahkan sangat langka akhir-akhir ini, ketika kasus Covid-19 meningkat tajam.
Disaat saturasi oksigen turun, artinya terjadi hipoksia, suatu kondisi yang berpotensi berbahaya di mana terjadi penurunan oksigenasi di jaringan tubuh. Kondisi ini bisa dialami pasien Covid-19 yang dirawat di rumah sakit maupun yang tengah menjalani isolasi mandiri.
“Kadar oksigen darah yang rendah telah menjadi masalah yang signifikan pada pasien COVID-19,” kata Prof. Shokrollah Elahi, peneliti dari University of Alberta. Prof. Elahi dan timnya kemudian melakukan penelitian, yang hasilnya sudah diterbitkan dalam jurnal Stem Cell Reports. Penelitian ini ingin mencari tahu mengapa banyak pasien COVID-19 mengalami hipoksia yang ditandai dengan saturasi oksigen turun, bahkan pada pasien yang tidak dirawat di rumah sakit.
Dalam penelitian tersebut, Elahi dan timnya memeriksa darah 128 pasien COVID-19. Pasiennya terdiri dari mereka yang mengalami sakit kritis dan dirawat di ICU, mereka yang memiliki gejala sedang dan dirawat di rumah sakit, dan mereka yang memiliki gejala ringan dan hanya dirawat beberapa jam di rumah sakit.
Semua Berawal dari Produksi Sel Darah Merah
Bicara tentang oksigen di tubuh, tidak bisa dipisahkan dari sel darah merah. Sel darah merah inilah yang mengangkut oksigen ke seluruh jaringan tubuh. Usia maksimal sel darah merah adalah 120 hari. Namun sumsum tulang belakang kita akan terus memproduksi sel darah untuk mengganti sel darah merah yang sudah rusak menjalankan tugasnya dan mati.
Sel darah merah yang belum matang akan tetap berada di sumsum tulang belakang, sampai ia matang dan siap beredar ke sirkulasi. Nah, Covid-19 ini merusak alveoli di paru sebagai pengambil oksigen. Darah pun kekurangan pasokan oksigen untuk diedarkan ke seluruh jaringan.
Pabrik sel darah merah, dalam hal ini sumsum tulang, menganggap ada masalah dengan sel darah merah karena pasokan oksigen berkurang, sehingga dengan terpaksa mengirimkan sel-sel darah merah yang masih belum matang ke sirkulasi.
Dalam penelitian, para apeneliti menemukan, ketika gejala Covid-19 menjadi lebih parah, ternyata lebih banyak sel darah merah yang belum matang membanjiri sirkulasi darah, terkadang bisa mencapai 60 persen dari total sel dalam darah. Sebagai perbandingan, pada orang sehat, sel darah merah yang belum matang dan beredar di aliran darah hanya kurang dari 1%.
Namanya darah belum matang, ia tidak akan mampu pula mengemban tugas membawa oksigen, malah ia jadi sasaran empuk virus Covid-19!
“Sel darah merah yang belum matang tidak bisa juga mengangkut oksigen, hanya sel darah merah yang matang yang melakukannya. Masalah kedua adalah sel darah merah yang belum matang sangat rentan terhadap infeksi COVID-19. Karena sel darah merah yang belum matang diserang dan dihancurkan oleh virus, tubuh tidak dapat lagi mengganti sel darah merah yang matang dan berdampak pada kemampuan untuk mengangkut oksigen dalam aliran darah berkurang,” jelas Elahi.
Mengapa virus Covid-19 menginfeksi sel darah merah yang belum matang? Ternyata sel darah muda yang belum matang ini memiliki reseptor ACE2 dan ko-reseptor, TMPRSS2, yang menjadi sarana SARS-CoV-2 menempel dan menginfeksi. Tim Elahi adalah tim pertama di dunia yang menemukan bahwa sel darah merah yang belum matang mengekspresikan reseptor-reseptor ini.
Apakah masalah berhenti sampai di sini? Ternyata itu baru awalnya. Siklusnya begini: sel darah merah yang belum matang adalah sel yang terinfeksi oleh virus, dan ketika virus membunuhnya, maka memaksa tubuh untuk mencoba memenuhi kebutuhan pasokan oksigen dengan memompa lebih banyak sel darah merah yang belum matang keluar dari sumsum tulang. Dan ini hanya menciptakan lebih banyak target untuk virus.
Masalah kedua, sel darah merah yang belum matang ini adalah sel imunosupresif yang kuat. Mereka menekan produksi antibodi dan menekan kekebalan sel T terhadap virus. Ketika sistem imun tidak bisa menghancurkan virus karena mereka menempel di sel-sel yang masih bayi! Tentu saja ini memperparah kondisi, virus semakin merajalela dan sistem imun tidak mampu berbuat banyak.
Jika Sudah Begini, Apa Solusinya?
Tim Elahi kemudian mulai menguji berbagai obat untuk melihat apakah mereka dapat mengurangi kerentanan sel darah merah yang belum matang terhadap virus.Mereka kemudian mencoba memberikan obat anti-inflamasi deksametason, yang sudah diketahui dapat membantu mengurangi angka kematian dan durasi penyakit pada pasien COVID-19. Ternyata berhasil! Dexamethasone menyebabkan penurunan infeksi pada sel darah merah yang belum matang.
Deksametason memiliki efek melumpuhkan respons reseptor ACE2 dan TMPRSS2 terhadap SARS-CoV-2 dalam sel darah merah yang belum matang, sehingga mengurangi peluang infeksi. Kedua, deksametason mempercepat sel darah merah yang belum matang menjadi matang.
Penelitian Elahi ini tidak membawa perubahan signifikan dalam perawatan pasien Covid-19. “Selama setahun terakhir, deksametason telah banyak digunakan dalam pengobatan COVID-19, tetapi tidak ada pemahaman yang baik tentang mengapa atau bagaimana cara kerjanya,” kata Elahi.
Tetapi dexametason tidak boleh dikonsumsi sendiri tanpa resep dokter ya, karena hanya dokter yang akan memutuskan kapan pemberian obat yang tepat. (