Intinews | Provinsi Sumatera Selatan (Sumsel) mencatatkan inflasi sebesar 0,27% secara bulanan (month-to-month/mtm) pada September 2025, berbalik arah setelah sebelumnya mengalami deflasi sebesar 0,04% (mtm) pada Agustus 2025.
Kenaikan harga ini mendorong laju inflasi tahunan (year-on-year/yoy) menjadi 3,44%, lebih tinggi dari bulan sebelumnya (3,04% yoy). Capaian ini masih berada dalam rentang sasaran inflasi nasional, yaitu .
Pendorong utama inflasi di Sumsel pada periode laporan bersumber dari kelompok makanan dan komoditas non-pangan strategis. Komoditas dengan andil terbesar terhadap inflasi bulanan adalah cabai merah dengan sumbangan 0,22% (mtm), diikuti oleh emas perhiasan sebesar 0,15% (mtm), dan daging ayam ras sebesar 0,14% (mtm).
Kenaikan Harga Pangan dan Dampak Geopolitik Global
Kenaikan harga cabai merah dipicu oleh terbatasnya pasokan dari daerah sentra produksi akibat penurunan panen yang disebabkan oleh gangguan cuaca. Sementara itu, harga emas perhiasan terus melambung seiring tingginya ketidakpastian geopolitik global yang membuat harga komoditas logam mulia meningkat.
Peningkatan harga juga signifikan terjadi pada daging ayam ras, yang didorong oleh tingginya permintaan masyarakat selama musim hajatan, serta kebutuhan dari dapur MBG. Selain itu, inflasi juga dipicu oleh Sigaret Keretek Mesin (SKM) sebesar 0,02% (mtm) akibat penyesuaian Harga Jual Eceran (HJE) yang dampaknya baru terasa di triwulan laporan ini, serta kenaikan harga ayam hidup (0,01% mtm) seiring penyesuaian Harga Pokok Produksi (HPP) menjadi Rp18.000/kg per Juni 2025.
Secara spasial, inflasi tercatat merata di seluruh kabupaten/kota Indeks Harga Konsumen (IHK). Kabupaten Muara Enim mencatatkan inflasi tertinggi sebesar 0,35% (mtm), diikuti Kota Palembang (0,30% mtm), Kota Lubuk Linggau (0,27% mtm), dan Kabupaten Ogan Komering Ilir (0,03% mtm).
Proyeksi Tekanan Inflasi dan Strategi TPID
Ke depan, tekanan inflasi di Sumsel diperkirakan masih akan berlanjut, meskipun diproyeksikan tetap berada dalam rentang sasaran nasional. Tekanan utama diprediksi bersumber dari penurunan produksi padi seiring peralihan ke musim tanam, serta berkurangnya pasokan hortikultura (cabai dan bawang) akibat pergantian ke musim hujan. Permintaan jasa perawatan medis dan obat-obatan juga diperkirakan meningkat seiring masuknya musim pancaroba.
Untuk mengendalikan gejolak harga, Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) Sumsel terus memperkuat koordinasi melalui strategi pengendalian berbasis 4K: Keterjangkauan Harga, Ketersediaan Pasokan, Kelancaran Distribusi, dan Komunikasi yang efektif.
Langkah-langkah konkret yang telah dan akan dilakukan meliputi: Operasi Pasar dan Distribusi: Penyelenggaraan operasi pasar murah dan gerakan pangan murah, koordinasi intensif dengan Bulog untuk pendistribusian beras SPHP, dan penyaluran komoditas melalui Toko KePo, RPK, dan Toko Penyeimbang. Kerjasama Antar Daerah (KAD): Implementasi KAD dengan Provinsi Jawa Timur untuk komoditas seperti bawang merah dan daging ayam, serta rencana KAD dengan Sumatera Barat. Penguatan Ketahanan Pangan: Mendorong Gerakan Sumsel Mandiri Pangan (GSMP) 2025 (Menyala, Goes to Panti Sosial, Goes to Office), didukung oleh Bank Indonesia dan TPID melalui pemberian bibit dan sarana budidaya.
Kepala Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Sumatera Selatan , Bambang Pramono menjelaskan, sebagai upaya penguatan fondasi pangan, Sumsel juga menjadi tuan rumah Gebyar Perbenihan Tanaman Pangan Nasional ke-X Tahun 2025.
“Kegiatan ini menghasilkan inovasi penting berupa peresmian teknologi padi apung untuk budidaya di lahan rawa, serta peluncuran Gerakan Sumsel Mandiri Benih Padi yang ditargetkan rampung pada tahun 2029″, jelasnya.
Bank Indonesia dan pemerintah daerah berkomitmen untuk mengoptimalkan program-program strategis seperti Gerakan Nasional Pengendalian Inflasi Pangan (GNPIP) dan GSMP, dengan tujuan menjaga stabilitas harga sekaligus mendorong pertumbuhan ekonomi Sumsel yang inklusif dan berkelanjutan. (vv)