Intinews | Kondisi pemulihan ekonomi dunia saat ini menghadapi sejumlah tantangan baru yang berasal dari risiko gangguan pasokan hingga meningkatnya suku bunga acuan. Hal itu dipicu oleh situasi perkembangan geopolitik terkini akibat krisis yang terjadi di Ukraina.
Dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia yang berlangsung pada 16-17 Maret 2022, Dewan Gubernur BI memutuskan untuk mempertahankan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 3,50%.
Selain itu, RDG Bank Indonesia juga menetapkan suku bunga deposit facility sebesar 2,75 persen, dan suku bunga lending facility sebesar 4,25 persen.
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo mengungkapkan, hal itu sejalan dengan perlunya bank sentral dalam menjaga stabilitas nilai tukar rupiah dan terkendalinya inflasi. “Selain juga merupakan upaya mendorong pertumbuhan ekonomi nasional di tengah tekanan eksternal yang meningkat,” ujarnya, ketika membacakan hasil RDG BI Maret 2022, Kamis (18/3/2022).
Perry mengemukakan, tekanan eksternal yang meningkat ini tak lepas dari ketegangan geopolitik dari negara Rusia dan Ukraina. Selain menahan suku bunga acuan, bank sentral juga menahan suku bunga deposit facility sebesar di level 2,75% dan suku bunga lending facility di level 4,25%.
Gubernur Bank Indonesia itu menjelaskan, bank sentral akan mengoptimalkan strategi bauran kebijakan untuk menjaga stabilitas dan pemulihan ekonomi domestik lebih lanjut.
Kebijakan yang diambil Bank Indonesia itu wajar saja. Pasalnya, pemulihan ekonomi kini sudah berada pada jalurnya. Pasalnya, dampak penyebaran Covid-19 varian Omicron di Indonesia, terutama selama Februari 2022 tidak separah dari perkiraan awal.
Pandemi Tidak Pengaruhi Pemulihan Ekonomi Di Awal 2022
Alhasil, pemulihan perkonomian Indonesia awal 2022 terus berlanjut. Tren di atas itu juga diamini Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. “Penyebaran Omicron ini tidak berpengaruh pada momentum pemulihan ekonomi di awal 2022,” ujarnya, di acara “Indonesia Conference 2022: Fitch on Indonesia-Exit Strategi after the Pandemic”, Rabu (16/3/2022).
Dia menambahkan, semula pemerintah mengasumsikan dampak gelombang tiga Covid-19 bisa seperti penyebaran varian Delta pada pertengahan 2021. Seperti diketahui, pertumbuhan ekonomi Indonesia melambat ke level 3,51 persen pada kuartal III-2021, setelah tumbuh tinggi sebesar 7,07 persen pada kuartal II-2021.
Namun, di awal 2022 geliat yang memberikan rasa optimisme ada di depan mata. Ini terlihat dari sejumlah indikator ekonomi, pertama, Purchasing Manager Index (PMI) Manufaktur Indonesia berada di zona ekspansif, yakni 51,20.
Indikator satu negara berada pada posisi ekspansif bila skor berada di atas 50. Angka di level itu termasuk terendah dalam enam bulan terakhir. Namun, berita baiknya, pencapaian itu tertinggi di Asia Tenggara.
IHS Markit, lembaga yang mengeluarkan soal Purchasing Managers Index (PMI) Manufaktur Indonesia, menilai bahwa pelaku bisnis ekstra waspada. Pasalnya, memanasnya konflik Rusia-Ukraina juga berpotensi buruk bagi sektor komoditas khususnya energi yang bisa merembet ke sektor industri. Artinya, pelaku industri khususnya sektor manufaktur tak leluasa menggeber ekspansi.
Kedua, impor bahan baku dan barang modal juga tumbuh dua digit. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, impor bahan baku Februari naik 20,98 persen secara yoy. Ketiga, konsumsi listrik bisnis dan industri meningkat.
Keempat, indikator konsumsi masyarakat juga sudah berada di level optimis. Hal itu terlihat dari Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) dan Indeks Penjualan Ritel yang meningkat hingga Indeks Belanja Mandiri yang sudah di atas kondisi sebelum pandemi.
Tidak itu saja, laporan terakhir BPS berkaitan dengan neraca perdagangan periode Februari 2022 yang kembali mencatat surplus, yakni USD3,83 miliar, tentu menjadi kabar yang menggembirakan.
Mengutip laporan BPS, surplus tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan surplus bulan sebelumnya yang mencapai 0,96 miliar dolar AS. Kinerja positif ini melanjutkan surplus neraca perdagangan Indonesia sejak Mei 2020.
Menanggapi kinerja itu, Kepala Departemen Komunikasi Bank Indonesia Erwin Haryono menilai, surplus neraca perdagangan telah berkontribusi positif dalam menjaga ketahanan eksternal perekonomian Indonesia.
“Ke depan, Bank Indonesia terus memperkuat sinergi kebijakan dengan pemerintah dan otoritas kebijakan terkait, demi meningkatkan ketahanan eksternal serta mendukung pemulihan ekonomi nasional,” ujarnya, dalam siaran pers yang dikutip Kamis (17/3/2022).
Surplus neraca perdagangan Februari 2022 bersumber dari kenaikan surplus neraca perdagangan nonmigas di tengah peningkatan defisit neraca perdagangan migas. Pada Februari 2022, surplus neraca perdagangan nonmigas mencapai USD5,73 miliar, lebih tinggi dibandingkan dengan surplus pada bulan sebelumnya sebesar USD2,29 miliar.
Perkembangan positif tersebut didukung oleh meningkatnya ekspor nonmigas dari USD18,27 miliar pada Januari 2022 menjadi USD19,47 miliar pada Februari 2022. Peningkatan kinerja ekspor nonmigas dipengaruhi oleh ekspor komoditas berbasis sumber daya alam, seperti batu bara, logam mulia, dan timah, serta produk manufaktur, termasuk berbagai produk kimia yang membaik.
Ditinjau dari negara tujuan, ekspor nonmigas ke Tiongkok, Amerika Serikat, dan Jepang tetap tinggi seiring dengan pemulihan permintaan global. Adapun impor nonmigas masih kuat pada seluruh komponen, sejalan dengan perbaikan ekonomi domestik yang berlanjut.
Sementara itu, defisit neraca perdagangan migas meningkat dari USD1,33 miliar pada Januari 2022 menjadi USD1,91 miliar pada Februari 2022, sejalan dengan peningkatan impor migas yang lebih tinggi dari ekspor migas.
Alhasil, berbasiskan data-data di atas, semoga pertumbuhan ekonomi tetap sesuai dengan harapan. Kerja keras dan tetap waspada patut terus dikedepankan, sehingga asa pertumbuhan ekonomi terus terjaga.
Memang saat ini terlihat mobilitas di masyarakat cenderung meningkat menyusul sudah turunnya angka masyarakat yang terpapar Covid-19. Namun, rencana mempercepat proses vaksinasi hingga mencapai 70 persen dari target sasaran menjelang Idulfitri tetap harus dilakukan. Jangan sampai kendor.
Bagi Menteri Keuangan Sri Mulyani, sejumlah data-data di atas tentu membuat dirinya gembira. Wajar saja, mantan managing director World Bank itu tetap menyatakan optimismenya bahwa pertumbuhan ekonomi yang ditetapkan pada 2022 tetap berada on the track, di kisaran 4,8 persen-5,5 persen yoy. (sil/**)