2023 Fenomena Stronger Dollar Akan Mereda

Intinews | Bank Indonesia memperkirakan, fenomena stronger dollar atau nilai tukar dolar Amerika Serikat (AS) terhadap mata uang negara berkembang (emerging market), termasuk rupiah, yang makin kuat akan berkurang pada tahun ini. Ini dikarenakan tren inflasi global yang melandai, disusul kenaikan suku bunga negara maju yang tidak lagi agresif atau bahkan tidak naik lagi.

“Tahun ini, pola penyesuaian modal global (global) itu tidak seperti 2022 yang berdampak kepada adanya kemungkinan aliran modal global mulai masuk ke negara berkembang, termasuk Indonesia. Itulah yang kami perkirakan, ke depan fenomena strong dollar akan berkurang,” ujar Kepala Departemen Ekonomi dan Moneter BI Firman Mochtar dalam focus group discussion (FGD) dengan media massa di Badung, Bali, Selasa (24/1/2023).

Implikasi lanjutannya, kata Firman, rupiah makin kuat dibandingkan posisi 2022. Selain itu fenomena cash in the king yang mencuat hingga tahun lalu, juga terus berkurang. Pasalnya, kali ini investor lebih memilih portofolio yang memiliki fundamental, termasuk di negara-negara emerging market yang memiliki prospek lebih baik seperti Indonesia. “Akibanya, itu mendorong mata uang negara berkembang kembali menguat,” tegas dia.

Firman memaparkan, ada lima hal yang mengemuka selama 2022 yang membuat pemulihan ekonomi global tertahan. Kelimanya adalah produk domestik global (PDB) global yang cenerung turun, gangguan pasokan yang berpengaruh ke inflasi, respons moneter negara maju melalui pengetatan kebijakan moneter yang lebih lama, peralihan modal dari negara emerging market ke negara maju yang memicu stronger dollar, dan fenomena cash is the king. “Lima fenomena ini diperkirakan tetap akan terjadi pada 2023, tapi dengan gradasi yang lebih rendah,” papar dia.

Kedua, bila negara tersebut memiliki permintaan domestik yang kuat yang ditandai dengan jumlah pendududk yang banyak. Ketiga, negara tersebut memiliki sumber daya alam yang baik. Karena, tahun ini harga komoditas diperkirakan masih tetap tinggi, meskipun tak setinggi tahun 202. “Yang keempat, keunikan-keunikan yang muncul dari negara bersangkutan,” pungkas dia.

Rupiah pada awal 2023 mengalami apresiasi, di mana sampai 18 Januari 2023 menguat 3,18% secara point to point dan 1,20% secara rerata dibandingkan dengan level Desember 2022. Penguatan rupiah tersebut relatif lebih baik dibandingkan dengan apresiasi mata uang sejumlah negara berkembang lainnya, seperti Filipina (2,08% ytd), Malaysia (2,04% ytd), dan India (1,83% ytd).

“Penguatan tersebut didorong oleh aliran masuk modal asing ke pasar keuangan domestik sejalan dengan persepsi positif investor terhadap prospek ekonomi domestik yang tetap baik dengan stabilitas yang terjaga, imbal hasil aset keuangan domestik yang tetap menarik, dan ketidakpastian pasar keuangan global yang sedikit mereda,” jelas Gubernur BI Perry Warjiyo dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI pekan lalu.

Nilai tukar (kurs) rupiah yang ditransaksikan antarbank di Jakarta pada Selasa (24/01/2023) sore ditutup naik seiring dengan ekspektasi pasar akan meredanya kenaikan suku bunga oleh bank sentral AS, The Fed. Rupiah ditutup meningkat tajam 188 poin atau 1,24% ke posisi Rp 14.888 per dolar AS dibandingkan posisi pada penutupan perdagangan sebelumnya Jumat (20/01/2023) Rp15.075 per dolar AS.

Sementara itu, seperti dilaporkan Antara, kurs Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) Bank Indonesia pada hari yang sama menguat ke posisi Rp 14.930 per dolar AS dibandingkan posisi sebelumnya Rp 15.121 per dolar AS pada Jumat (20/01/2023).

Sumber : Investory Daily

Respon (1)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *